Kisah Seks Seorang Ob Dengan Resepsionis Cantik Yang Masih Perawan

Namaku Bima, seorang OB di salah satu perusahaan swasta kecil di Ibukota. Tiga bulan pertama, ada karyawan baru yang masuk untuk bagian resepsionis. Namanya Laras. Wanita cantik, tinggi kurang lebih 165cm, berat 50kg, bibir sensual, ramah, suka senyum, senang pakai rok mini dan sepatu hak tinggi, kulit bersih dan rambut sebahu.
Suatu siang, aku sedang terburu-buru karena dipanggil Boss untuk menyiapkan sajian kepada tamu dari Kalimantan. Tanpa sadar, aku berpapasan dengan Laras yang sedang berjalan sambil melihat hape. Kami bertabrakan. Tubuhnya tinggi bila dibanding wanita biasa, sekitar 170cm plus sepatu, karena tinggi tubuhku juga sekitar itu. Secara refleks, aku memeluknya agar tidak terjatuh. Dalam dekapanku, tercium harum parfum yang membuat darahku berdesir, mengalirkan hawa nafsu hingga ke ubun-ubun.
“Duh, maaf mas Bima. Aku gak liat, ini sambil baca e-mail kerjaan dari Bapak.” Ucap Laras memelas.
“Iya, Mbak Laras, gapapa. Aku juga lagi buru-buru dipanggil si Bapak soalnya, hehehe.” Jawabku sambil pamit ke ruangan bos. Setelah itu, kami kembali bekerja dengan kesibukan masing-masing dan tidak memikirkan lagi kejadian tadi.
Kira-kira setengah jam sebelum jam kerja berakhir, aku meneleponnya untuk mengajak nonton film yang kebetulan sedang bagus. Ternyata dia setuju kalau nontonnya hanya berdua saja. Selama perjalanan ke bioskop, kami ngobrol ngalor-ngidul dan tertawa.
"Kamu sudah punya pacar?" tanyaku.
Laras menjawab, dia baru putus tiga bulan yang lalu dan itu alasannya dia pindah kerja ke tempatku. Aku pikir dia sedang labil, dan ini kesempatan bagus untuk mendekatinya.
Setelah membeli karcis dan makanan kecil, kami masuk ke dalam gedung yang masih sepi. Aku mengambil posisi di tengah, kata penjaganya boleh pilih tempat.
Sesaat film dimulai, tanganku mulai menyentuh tangannya. Dia membiarkan. Pikiranku mulai kotor. Kuremas secara halus. Dia membalas dengan remasan halus juga. Kudekatkan wajahku ke telinganya. Nafasku mulai masuk melalui lubang telinganya yang sedikit terhalang oleh rambutnya yang harum. Kuberanikan untuk mencium lehernya. Dia hanya mendesah, "Aaaahhhhh..."
Kuarahkan bibirku ke pipi, lalu ke mulutnya. Pertama kali dia menutup mulutnya, tetapi tidak kuasa untuk menahannya karena aku terus menempelkan bibirku. "Ssssshhhhh..." Tanganku tetap meremas jemari tangannya, lalu pindah ke leher dan ke pinggang. Lama-kelamaan naik ke buah dada yang masih terbungkus seragam kantor. Lidahku mulai memainkan lidahnya, begitu pula sebaliknya. Kuperhatikan matanya mulai terpejam. Jemarinya mulai agak kuat meremas tubuhku. Kami tidak lagi memperhatikan film yang sedang diputar.
Aku raba bagian pahanya, tetapi terhalang oleh stokingnya yang panjang sampai perut. Aku sudah tidak sabar untuk meraba kemaluannya. Dia menarik tanganku agar tidak meraba barangnya, tapi aku terus meraba hingga akhirnya dia mengalah. Aku bisikkan untuk melepaskan stokingnya. Kami berhenti sejenak hanya untuk melepas stoking itu, lalu kembali ke permainan semula.
Aku rogoh selangkangannya yang masih terbungkus CD dengan tanganku yang kekar dan berbulu. Tanganku mulai memijat pinggulnya. Ternyata dia memakai CD yang diikat di samping. Kubuka perlahan agar memudahkan untuk melanjutkan ke memeknya. Hanya terdengar suara napas kami berdua.
Tanganku sampai ke permukaan pusarnya, lalu turun ke bawah. Betapa kagetnya aku saat meraba, ternyata bulu kemaluannya hanya sedikit. Kulepas mulutku dari mulutnya dan bertanya, "Laras, bulunya dicukur ya?"
Bukan jawaban yang aku terima, melainkan tamparan kecil yang mendarat di pipiku, plak!
Aku melanjutkan lagi, sampai akhirnya film selesai. Kubisikkan lagi, "Saya ikatkan lagi ya, Laras."
Tidak dijawab. Kuikatkan kembali CD-nya, lalu kami bubar setelah film selesai. Saat melangkah di anak tangga ketujuh, dia menarik tanganku lalu membisikkan, "Bima, talinya lepas..."
Buru-buru aku pepet samping kiri pinggulnya agar orang tidak menyangka. Turun lagi ke anak tangga kesembilan, eh, dia membisikkan lagi, "Bima, satunya juga, kamu sih, ikatnya nggak kencang."
"Sori deh..." kataku.
Akhirnya dia menuruni tangga dengan merapatkan kaki dan memegang samping kiri roknya. Cepat-cepat aku ambil motor sementara dia berdiri menunggu. "Sampai juga akhirnya..." kami berdua hanya cekikikan.
"Mau kemana lagi kita sekarang...?" tanyaku.
"Terserah aja, soalnya mau pulang males, lagi ribut sama mama." Jawab Laras singkat.
Lalu kupercepat laju motorku menuju Pondok Tirta di Halim. Begitu sampai, kami langsung masuk ke kamar. Kami ngobrol sebentar, lalu aku ke kamar mandi untuk mencari kondom berwarna hitam yang selalu aku siapkan di dalam tas. Aku kembali dan terus menciuminya sampai dia tak bisa bernapas.
"Eeggghhhhh..." Dia mencabut mulutnya dariku, "Pelan-pelan dong, Bima."
Aku mulai menciuminya secara perlahan sambil membuka baju dan behanya. Teteknya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, putingnya mungil berwarna coklat gelap. Kuciumi teteknya. "Sssshhhhh..." sambil dia menjambak rambutku. Kumainkan lidahku di puting yang satu, sementara yang satu lagi kuremas. "Ssssshhhhhh..." Napasnya memburu.
Kuturunkan roknya, lalu celana dalamnya, dan kubaringkan dia di tempat tidur sambil terus menyusu. "Sssshhh... ooohhh... Bima..." Desah Laras.
Aku tak peduli dengan suaranya, dan benar saja, bulu jembutnya hanya sedikit dan halus. Kubelai-belai meskipun hanya sedikit, lalu kumainkan itilnya yang sudah basah. Dia agak kaget.
"Aaaauuu, ahhhh..."
Aku perhalus lagi permainanku. Saat aku coba memasukkan jemariku ke memeknya...
"Aaaaauu, sakit Bima!" Teriak Laras.
'Lho, anak ini masih perawan rupanya,' pikirku.
Kujilati terus pentilnya sambil kubuka seluruh pakaianku. Tampaklah dua insan tanpa benang sehelai pun. Dia memperhatikan kontolku sejenak lalu tertawa, "Hahaha..."
"Kenapa?" tanyaku.
"Bentuknya lucu..." katanya polos sambil meremas pelan kontolku dengan tangan kirinya.
Lalu pelan-pelan kugeser pahanya agar merenggang. Kupasangkan kondom yang baru kubeli tadi pagi. Harganya memang tidak semahal yang lain, tapi kondom berbungkus hitam ini selalu jadi andalanku untuk urusan ranjang.
Setelah itu, kuatur posisi untuk siap menerobos lubang memeknya. "Eeghhh... egghhh..." Belum bisa juga. Dua kali mencoba, baru kepalanya yang masuk. Aku tidak kehilangan akal. Kujilat terus puting susunya dan secara perlahan kutekan pantatku agar seluruh kontolku masuk.
"Ssssssshhhhhh... Eeeeggghhhh... Sssshhhh..." Barulah masuk seluruhnya, dan aku mulai mengayunkan secara perlahan. "Sssssshhhhhh... Ssssshhhhh... Aaakkhhhh... Bima..." "Bima..." Hanya itu suara yang terdengar.
Makin lama, makin cepat ayunan pantatku, dan kurasakan seluruh persendianku mau copot. "Sssssshhhhhh... Ooohhhh... My God..." katanya.
Aku hentikan permainan karena merasa mau keluar. Dia malah membalikkan tubuhku. Kuatur posisi kontolku agar pas di lubang memeknya, dan bbblleeesss, masuk lagi kontolku dalam lumatan memeknya yang masih kencang. Dia menaikkan dan menurunkan badannya. "Ssshhh... Sshhhh... Aahhhh..."
Mulutku disumpal dengan susunya, dan putingnya sudah menegang semua seperti kontolku. "Ssssshhh... Aaaaahhhhh... Ooohhhhh... Sssssshhh..." Lima menit kemudian, dia menjambak rambutku dan menjatuhkan tubuhnya ke tubuhku. "Bima... Aaaakkkkkhhhh... Bimaaaaaa... Sssshhhhh..."
Rupanya dia mencapai klimaks. Aku merasakan kejutan dari lubang memeknya seperti 'empot ayam'. "Sssshhhhhh... Aaahhhhhh... Bimaaaaaaa..." Pejuku menyemprot di dalam liang memeknya, kira-kira empat atau lima kali kejutan. 'Untung pakai kondom, kalau tidak bisa repot,' pikirku. Akhirnya kami berdua lemas dan bermandikan keringat. Sesaat tubuhnya masih menindih tubuhku, dan kuciumi dia dengan mesra.
Lalu dia bergeser ke kasur. Kuambil sebatang rokok, dan ternyata dia ingin menghisap kontolku lagi. "Aaahhh..." katanya sambil memijat-mijat kontolku.
"Jangan dikepalanya..." Aku bilang.
"Emangnya kenapa??" Tanya Laras.
"Ngilu tau, he... he... he..." Aku bertanya perlahan, "Laras, hmmm, cowok kamu dulu suka begini nggak?"
"Nggak berani..." Jawabnya singkat sambil menyudahi hisapannya. "Jadi ini yang pertama?" tanyaku lagi. Laras hanya mengangguk. Aku tidak memperhatikan kalau di kontolku ada tetesan darah dari memeknya. Dia berjalan menuju kamar mandi, lalu berteriak kecil, "Aaauuuu!"
"Kenapa, Laras?!" Tanyaku sedikit bingung.
"Kencingnya sakit." Jawab Laras.
Lalu kami mandi dan membersihkan badan berdua. Tanpa terasa, sudah jam setengah sembilan malam. Kami memesan makan malam dan menyantapnya tanpa busana.
Setelah santap malam, kujilati lagi puting susunya sampai menegang kembali. Aku meminta dia mengulum kontolku, tapi Laras hanya menggeleng. Kuraba memeknya yang juga sudah mulai basah. Kubalikkan dia, kuarahkan kontolku ke liang memeknya dari belakang.
"Aaaauu..." Teriaknya kaget. Aku terus mengayunkannya, dari pelan sampai begitu cepat. "Sssshhhhh... ssshhhhh... ssshhh... Enakkk Bimaaaaaa..."
Lalu dia meminta aku berbalik dengan posisi terlentang, dan dia mulai menaiki tubuhku sambil menyodorkan susunya untuk dilumat lagi. Kuarahkan lagi tanpa melihat di mana posisi lubangnya, dan bless, dia mulai mengayunkan tubuhnya.
"Sssssshhhhhh... Sssshhhhh... Aaaahhhh... Bima..." Lima menit kemudian, tubuhnya kembali mengejang dan "Aaaahhhhh... Bima..." sambil merapatkan tubuhnya ke tubuhku.
Kini giliran aku yang tidak bisa bernapas karena tertutup rambutnya. Kuhentakkan pantatku kuat-kuat dan kuayunkan terus. "Ssssssshhhhhhh... Larassss..." Pejuku yang kedua keluar.
Kami istirahat sejenak, lalu mandi air hangat lagi. Kutengok jam tanganku, sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kuantarkan dia pulang ke rumahnya di Tebet Timur.
Keesokan harinya, kami bekerja seperti biasa. Dia menghubungiku, "Bima, masih sakit kalau pipis. Tuh, sampai tadi pagi juga sakit."
"Nggak apa-apa, tapi enak kan? Mau nambah?" tanyaku menggoda.
"Nanti ya..." Jawab Laras singkat.
Aku hanya tersenyum membaca pesan singkatnya. Semenjak saat itu, aku secara rutin menyetubuhi Laras, entah karena kemauanku atau libido Laras yang sedang naik. Kami bahkan sempat beberapa kali melakukannya di kantor secara diam-diam bila nafsu sudah tidak bisa tertahankan.