Mata Adik Iparku Melotot Saat Aku Mulai Mencium Bibir Ranumnya Cerita Seks Di Penginapan

Gambar

Rani, adik iparku. Sejak pertama kali ketemu, aku sudah terkesima sama penampilannya. Kulitnya itu lho, putih mulus banget, kayak cewek-cewek Tionghoa yang sering nongol di iklan. Aku juga sudah hafal dari sorot matanya yang polos, dia itu cewek baik-baik. Sering banget kami bercanda, ngetawain hal-hal receh. Tapi di dalam hati, aku selalu penasaran, gimana ya rasanya kalau aku bisa sentuh dia?

Suatu hari, Rani minta tolong diantar tes kerja. Posisinya di luar kota, jaraknya lumayan jauh. Mau nggak mau, aku harus ngambil cuti sehari. Aku bilang ke istriku, "Aku antar Rani ya, kasian dia kalau naik kendaraan umum." Istriku cuma ngangguk, nggak curiga apa-apa.

Kami berangkat pagi-pagi, naik mobilku. Perjalanan lumayan lancar. Di jalan, kami ngobrol ngalor ngidul, dari obrolan serius sampai yang cuma buat ketawa-ketawa. Rani cerita banyak tentang mimpinya, mau kerja di perusahaan bonafide, punya uang sendiri, dan bantu orang tuanya. Aku dengerin dengan seksama, sambil sesekali melirik ke arahnya. Wajahnya yang polos, rambutnya yang tergerai, dan kemeja putihnya yang terlihat pas di badannya.

Sesampainya di tempat tes, ternyata tesnya lama banget. Kami sampai di sana jam 10 pagi, dan tesnya baru selesai jam 5 sore. Rani keluar dari ruangan dengan wajah lelah, tapi matanya bersinar bahagia. "Kak, doain ya, semoga aku diterima," katanya sambil senyum manis.

"Pasti, Ran. Kamu kan pinter," balasku sambil menepuk pundaknya pelan.

Kami lalu makan malam di warung pecel lele pinggir jalan. Rani makan dengan lahap, sambil cerita serunya tes tadi. Dia bilang banyak banget soal-soal yang bisa dia jawab. Aku ikut senang mendengarnya. Setelah selesai makan, kami lanjut perjalanan pulang.

Tapi, di tengah jalan, ada kejadian yang nggak terduga. Ban mobilku bocor! Duar! Aku langsung ngerem mendadak. Rani kaget, "Kenapa kak?" tanyanya panik.

"Ban mobil bocor, Ran," kataku sambil menghela napas panjang.

Aku coba ganti ban serep, tapi ternyata ban serepnya juga kempes. Sialan! Aku mengumpat dalam hati. Kami terpaksa berhenti di pinggir jalan yang sepi. Sudah jam 9 malam. Tidak ada bengkel yang buka. Jalanan juga gelap, cuma ada beberapa lampu jalan yang remang-remang.

"Gimana nih, kak?" tanya Rani dengan nada cemas.

"Nggak tahu, Ran. Ban serepnya kempes," jawabku jujur.

"Kita tidur di mobil aja kali ya, kak?" usulnya.

"Nggak bisa, Ran. Dingin banget di sini. Kita cari penginapan aja, yuk. Besok pagi baru kita cari tukang tambal ban," kataku sambil menunjuk ke arah ujung jalan, ada lampu-lampu yang terlihat seperti bangunan penginapan.

Rani mengangguk setuju. Kami lalu jalan kaki menuju penginapan itu, sambil aku bawa tas dan Rani bawa tasnya. Aku menggandeng tangannya, takut dia tersesat atau tersandung di jalan yang gelap. Tangannya terasa lembut dan hangat di tanganku. Aku deg-degan, tapi berusaha untuk bersikap biasa saja.

Setelah berjalan sekitar 15 menit, kami sampai di penginapan. Bangunannya sederhana, tapi lumayan bersih. Kami masuk, lalu aku tanya ke resepsionis, "Pak, ada kamar kosong?"

"Ada, Mas. Tinggal satu-satunya, kamar double bed," jawab resepsionis itu.

Deg! Jantungku berdetak kencang. Double bed? Berdua sama Rani? Aku menoleh ke arah Rani, dia terlihat pasrah dan kelelahan. "Ya sudah, Pak. Nggak apa-apa," kataku buru-buru, sebelum Rani sempat menolak.

Kami lalu masuk ke kamar. Kamarnya lumayan luas, ada kasur besar di tengah-tengahnya, dan kamar mandi di pojok. Aku meletakkan tas di atas meja, sementara Rani langsung duduk di pinggir kasur. "Aku capek banget, kak," katanya sambil merebahkan diri.

"Istirahat aja, Ran. Mandi dulu sana, biar seger," kataku.

Rani mengangguk, lalu beranjak ke kamar mandi. Aku lalu melepaskan jaketku dan duduk di kursi. Aku berusaha menenangkan diriku. Berdua di kamar sama Rani? Aku tahu ini kesempatan, tapi aku juga takut. Takut kalau aku khilaf, dan merusak hubungan kami.

Setelah sekitar 15 menit, Rani keluar dari kamar mandi. Dia pakai daster satin yang agak tipis, dan rambutnya masih basah. Wajahnya terlihat segar, dan kulitnya yang putih mulus terlihat makin bersinar. Aku langsung terkesima. Pandanganku sulit lepas dari sosoknya.

"Kenapa, kak? Kok lihatin aku gitu?" tanyanya sambil tersenyum malu.

"Nggak, Ran. Kamu cantik," jawabku jujur.

Rani tersipu malu. "Ah, kakak bisa aja," katanya.

Dia lalu duduk di pinggir kasur, sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Aku lalu berdiri, mendekatinya. "Sini, aku bantu keringin," kataku.

"Nggak usah, kak. Aku bisa sendiri," katanya sambil menjauhkan handuknya.

"Udah, sini aja. Nggak apa-apa," kataku sambil mengambil handuk dari tangannya. Aku lalu mengeringkan rambutnya dengan lembut. Rambutnya terasa halus di tanganku, dan aroma sabunnya tercium wangi. Aku menunduk, dan mencium rambutnya.

"Kakak, ngapain?" tanya Rani dengan nada agak kaget.

"Rambutmu wangi banget, Ran," kataku jujur.

Rani cuma diam, tidak menolak. Aku lalu mengeringkan rambutnya sampai kering. Setelah itu, aku duduk di sebelahnya. Tiba-tiba, aku merasa tanganku ingin meraih tangannya. Aku takut, tapi aku juga penasaran.

"Ran, aku boleh tanya sesuatu?" tanyaku dengan nada ragu.

"Tanya apa, kak?"

"Kamu pernah pacaran?" tanyaku.

Rani menggeleng. "Belum pernah, kak. Aku masih mau fokus sekolah dan kerja," jawabnya polos.

Deg! Jantungku berdetak kencang. Dia masih perawan? Aku menoleh ke arahnya, dan menatap matanya dalam-dalam. Matanya yang polos, hidungnya yang mancung, bibirnya yang ranum. Aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku mencondongkan tubuhku ke arahnya, dan mencium bibirnya.

Rani kaget. Matanya melotot, tapi dia tidak menolak. Dia hanya diam, membiarkan aku menciumnya. Aku lalu melumat bibirnya pelan, dan dia mulai membalas ciumanku. Aku tidak percaya. Ini benar-benar terjadi. Adik iparku, yang selama ini aku kagumi dalam hati, sekarang ada di depanku, membalas ciumanku.

Ciuman kami semakin panas. Aku memeluk tubuhnya, dan dia melingkarkan tangannya di leherku. Aku lalu menggerakkan tanganku ke arah pinggangnya, lalu ke punggungnya. Kulitnya terasa halus dan lembut. Aku mengusap-usap punggungnya, lalu meremas pinggangnya.

"Hmmph..." Rani mendesah pelan, sambil memejamkan mata.

Aku melepaskan ciuman, lalu menatapnya. Wajahnya memerah, napasnya tersengal-sengal. "Rani, kamu..." kataku terputus.

"Kenapa, kak?"

"Aku... Aku suka sama kamu, Ran. Dari dulu," kataku jujur.

Rani menunduk, tidak berani menatap mataku. "Tapi... Tapi kakak kan sudah punya istri," katanya pelan.

"Aku tahu, Ran. Tapi... Aku nggak bisa bohongin perasaanku. Kamu cantik, baik, dan polos. Aku nggak bisa nahan diri," kataku.

Rani cuma diam, dia terlihat bingung. Aku lalu memeluknya erat, dan dia membalas pelukanku. "Aku nggak mau nyakitin kamu, Ran. Tapi... Aku juga nggak bisa nahan diriku," bisikku di telinganya.

"Aku juga nggak tahu, kak. Aku... Aku juga suka sama kakak," katanya pelan, sambil memelukku erat.

Aku kaget. Dia juga suka sama aku? Jantungku berdetak kencang. Aku melepaskan pelukan, lalu menatap matanya. "Beneran, Ran?"

Dia mengangguk malu. Aku lalu tersenyum, dan mencium bibirnya lagi. Kali ini, ciumannya lebih panas dari sebelumnya. Aku mulai mencium lehernya, dan dia mendesah pelan. "Hmmph... kak..."

Aku lalu menggendongnya, dan membaringkannya di kasur. Rani tidak menolak. Dia hanya memejamkan mata, membiarkan aku melakukan apa saja padanya. Aku lalu membuka kancing-kancing daster satinnya, dan melihat pemandangan yang indah di depanku.

Dua gundukan payudara yang masih kecil, tapi terlihat padat dan berisi. Putingnya terlihat malu-malu, berwarna merah muda. Aku langsung menempelkan bibirku ke salah satu payudaranya, dan menghisapnya pelan.

"Aah... kak... geli..." Rani mendesah kenikmatan.

Aku terus menghisap payudaranya, dan menggerakkan tanganku ke arah bawah. Aku membuka daster satinnya sampai ke pinggang, dan melihat pemandangan yang bikin aku langsung tegang.

Paha mulus, perut rata, dan V-nya yang masih tertutup. Aku lalu mengusap-usap pahanya, dan dia menggeliat kenikmatan. "Hmmph... kak..."

"Kamu cantik banget, Ran," bisikku.

"Kakak juga," jawabnya pelan, sambil memeluk leherku.

Aku lalu membuka celanaku, dan Rani melihat ke arah kontolku yang sudah ngaceng. Matanya membelalak, dan wajahnya memerah. "Kak, itu... Gede banget," katanya polos.

"Kamu mau pegang?" tanyaku.

Dia mengangguk ragu. Aku lalu mengambil tangannya, dan menempelkannya ke kontolku. "Udah, pegang aja. Nggak apa-apa," kataku.

Dia lalu memegang kontolku, dan mengocoknya pelan. "Eehh... geli ya?" tanyanya polos.

"Nggak, Ran. Enak banget," jawabku sambil mendesah kenikmatan.

Dia lalu mengocoknya semakin cepat, dan aku merintih. "Aah... Ran... terus..."

Aku lalu berbalik, dan membaringkannya. Aku lalu menindihnya, dan dia tidak menolak. Dia hanya memejamkan mata, dan menunggu apa yang akan aku lakukan. Aku lalu mencium bibirnya lagi, dan menggerakkan tanganku ke arah bawah.

Aku membuka celana dalamnya, dan melihat V-nya yang masih perawan. Belum ada bulu-bulu yang tumbuh. Hanya terlihat sedikit cairan yang membasahi V-nya. Aku langsung menjilat V-nya.

"Aah... kak... geli... hmmph..." Rani mendesah kenikmatan.

Aku terus menjilat V-nya, dan menggerakkan lidahku masuk ke dalam. Rani langsung menggeliat, dan mendesah kenikmatan. "Aah... aah... kak... enak..."

Aku terus menjilati V-nya, sampai dia merasa puas. Aku lalu menciumnya lagi, dan Rani membalas ciumanku dengan penuh gairah. "Kak, aku mau," katanya pelan.

"Mau apa, sayang?" tanyaku.

"Mau... Mau rasain punya kakak," katanya malu-malu.

Aku lalu tersenyum. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku lalu menindihnya, dan memasukkan kontolku ke dalam V-nya.

"Aah... sakit... kak..." Rani merintih kesakitan.

"Sebentar, Ran. Tahan ya," kataku sambil terus mendorong masuk.

"Aah... sakit banget, kak..."

Aku lalu mencium bibirnya, dan terus mendorong masuk. Akhirnya, kontolku berhasil masuk. Aku diam sebentar, menahan rasa sakitnya. Rani juga diam, menahan rasa sakitnya.

Setelah beberapa saat, rasa sakitnya mulai berkurang. Aku lalu mulai menggenjotnya pelan-pelan. Rani mendesah kenikmatan. "Aah... kak... enak..."

Aku lalu menggenjotnya semakin cepat, dan dia mendesah semakin kencang. "Aah... aah... aah... kak... terus... hmmph..."

Aku terus menggenjotnya, sampai aku merasa mau keluar. Aku lalu mencabut kontolku, dan menumpahkan air maniku di perutnya.

"Aah... crott... crott... crott..."

Air maniku membasahi perutnya, dan dia melihatnya dengan mata membelalak. "Kak... itu apa?"

"Itu... Air mani, Ran. Punya kakak," jawabku.

Rani lalu mengusap air mani di perutnya. "Hangat ya, kak?"

"Iya, Ran," kataku sambil tersenyum.

Kami lalu berbaring, dan berpelukan. Kami tidak bicara apa-apa. Kami hanya menikmati kebersamaan kami. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak menyesal. Aku merasa bahagia bisa memiliki Rani, meskipun hanya untuk satu malam.

Pagi harinya, aku bangun duluan. Aku melihat Rani masih tidur nyenyak di sampingku. Wajahnya terlihat polos, seperti tidak terjadi apa-apa semalam. Aku mencium keningnya, lalu bergegas ke kamar mandi.

Setelah mandi, aku membangunkan Rani. "Bangun, Ran. Udah pagi," kataku sambil menepuk pipinya pelan.

Rani menggeliat, lalu membuka matanya. "Kakak..." katanya sambil tersenyum malu.

"Udah, ayo mandi. Kita harus cari tukang tambal ban," kataku.

Rani mengangguk, lalu beranjak ke kamar mandi. Setelah dia selesai, kami keluar dari penginapan, dan mencari tukang tambal ban. Kami berhasil menemukan tukang tambal ban, dan ban mobilku pun diperbaiki.

Kami lalu melanjutkan perjalanan pulang. Di dalam mobil, kami tidak banyak bicara. Kami hanya saling pandang, dan tersenyum malu. Aku tahu, apa yang terjadi semalam tidak akan pernah kami lupakan.

Setelah sampai di rumah, kami berpisah. Rani masuk ke kamarnya, dan aku masuk ke kamarku. Aku melihat istriku, dan aku merasa bersalah. Tapi, aku tidak bisa menyangkal, aku juga merasa bahagia.

Sejak saat itu, hubungan kami tidak berubah. Kami masih sering bercanda, dan ngetawain hal-hal receh. Tapi, ada satu hal yang berbeda. Setiap kali kami saling pandang, aku bisa melihat ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan kakak ipar.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi, satu hal yang pasti, aku akan selalu mengingat malam itu. Malam di mana aku dan Rani, adik iparku, saling menemukan cinta terlarang.